Thursday 31 December 2015

An Afterthought

Tahun berganti tahun, bulan berganti bulan, minggu berganti minggu, hari- hari yang tersusun dari hitungan jam, dan waktu yang senantiasa membuat pejalan seperti kita kehilangan "waktu". Kita ini pejalan yang sama- sama perlu saling berpegang tangan, dan juga saling mengingatkan.

Berlari dan terus berlari, mencari dan terus mencari, ketika lelah tak bisa lagi disemangati, menutup muka dengan bantal mungkin adalah sebuah solusi. Menenggelamkan semua beban, mengalirkan keluar semua hal buruk yang kita terima dari dunia luar, dan berakhir dengan mata sembab di pagi harinya adalah sebuah berkah. Matahari tetap bersinar apapun yang terjadi, berapapun jumlah air mata yang keluar semalaman, dan wajah yang masih belum memberikan rona senyum di pagi hari. Dengan ini siapkah kita melawan hari?

Hal yang sama seharusnya tak boleh terulang kembali. Segala macam bentuknya, kita sebagai seorang yang tahu caranya bersikap harus segera bertindak mengatasi situasi ini. Apapun bisa menjadi pembunuh yang mengerikan, kita sama- sama mengetahui itu. Cinta yang berlebihan, dendam yang membara, penyesalan akan hal buruk di masa lalu, kegagalan ketika berekspektasi, kesepian yang sangat sepi, dan apapun itu bisa saja menjadikan kita takut, takut untuk sekedar memulai.

Akhirnya musim berganti. Angin barat bergerak membawa sekumpulan mendung yang siap menghujani bumi. Beberapa sudah siap dengan membawa payung atupun jas hujan. Dan beberapa yang lain mengabaikan pertanda yang selalu mengawali sebuah peristiwa. Alam selalu memberi kita pertanda, dan kadang kita selalu sok tahu untuk beberapa hal. Beberapa dari kita tak ubahnya seperti peramal yang kehabisan kartu. Siapa tahu kan?

Musim hujan masih awal untuk dikatakan akan berhenti. Meski yang kita ketahui, hujan masih agak malu- malu untuk lebih banyak berkontribusi untuk semua yang menanti. Kita mungkin menyukai hujan. Ya, bebrapa puisi, berapa lagu, beberapa dongeng mungkin tercipta ketika hujan. Hujan memang memiliki kekuatan untuk membangkitkan memori seseorang. Kenangan romantis ketika bareng pacar, ketika bermain bola dengan teman sebaya, dan ketika sekedar duduk di teras dengan minuman hangat dan keluarga. Mungkin kita sedang merindukan sebuah kebersamaan. Hanya saja, tidak mudah menemukan ini disaat seperti ini. Disaat beberapa lebih memilih gadget sebagai wahana menjalin kebersamaan. Tidak bisakah kita duduk bersama, disuatu tempat, melihat langit, mendengar angin, dan sedikit candaan tentang perjalanan waktu? Tentang masa lalu dan masa depan? Tidak bisakah? Tidak bisa ya?

 2015 akan segera berlalu dan siapapun akan ceria.




Thursday 10 December 2015

Nice syndrome

Seseorang di seberang layar handphone mungkin sedang menanti harap kedatangan sebuah pesan baru. Memutar- mutar secara acak smartphone pilihan yang baru dibeli beberapa bulan lalu. Mengecek semua media sosial kenamaan, yang hampir semua lini dimiliki. Facebook, twitter, instagram, bbm, line, wa, linkedIn, and many more kalo masih ada yang kelewat. Adakah sebuah kecemasan yang sering tersirat diantara waktu yang membosankan.

Sebuah Syindrome Media Sosial.

Sebagaian kebutuhan mungkin sudah mulai terabaikan. Kebutuhan untuk hidup berinteraksi nyata dengan teman lain. Saling bertatap muka dengan makna yang sebenarnya. Tidak untuk mencari perhatian diantara banyaknya follower di akun kebanggaan, tidak untuk menebar prasangka ketika kita sedang bermasalah dengan salah satu teman, pacar, keluarga, atau bos besar. Tidak untuk sekedar pamer bahwa kita sedang berada di suatu tempat yang lagi recomended banget untuk dikunjungi. Atau, tidak untuk mendapatkan banyak "like" sebanyak- banyaknya ketika membagikan foto unyu.

Adakah yang harus repot- repot menjadi pahlawan untuk hal yang memang seharusnya terjadi? Kalaupun ada, bersiaplah untuk dinggap aneh, aneh, dan aneh.

Sedikit mengulang hari, mengulang kisah, mengulang- ulang Menu- Pesan- Kembali- Menu- Pesan- Kembali berkali- kali dan sangat lucu untuk diamati. Merefresh Beranda dengan semangat karena sebuah harapan adanya status terbaru dari pacar, teman pacar, gebetan, ataupun mantan terbaik. Ya, kita sedang bersembunyi dibalik layar masing- masing untuk sekedar tau apa yang terjadi dengan teman kita.

Lalu, ada berita baik yang tidak boleh kita sembunyikan. Bahwa siapapun kita, mungkin saja bisa dipertemukan dengan teman lama berkat media sosial. Menemukan jodoh melaluinya yang sudah banyak bukti disekitar kita. Menemukan pacar baru setelah sekian tahun menjomblo, atau saling berbagi ide di forum- forum diskusi. Itu membuat syndrome ini terlihat manis. Why? Karena, itu seperti mengumpulkan kembali sesuatu yang sudah lama berserakan. Menyatukan hati yang lama tak pernah bertaut. Manis, kan?

Nice Syndrome. Sebuah syndrome yang terasa manis dan terasa serba salah.

Friday 4 December 2015

Self Awareness ( Sebuah Seni)

Sebuah abjad pernah menjadi cerita unik. Dalam hijaunya sebuah hubungan pertemanan yang kadang hanya menyisakan sedikit ikatan. Hubungan percintaan yang selalu menjadi hal mengesankan untuk dikenang. Bertemu di waktu tertentu, berbicara jika memang ada perlu, dan sedikit membatasi diri untuk bisa lebih mengenal orang lain. Apakah seni yang yang sedang kita maksudkan?

Sebuah seni pertahanan diri, sebuah sikap aksi- reaksi di antara sebuah hubungan.

Dalam keseharian kita yang sering kali itu- itu saja, mungkin kita pernah bosan dengan semua "lelakon urep" yang kita jalani sehari- hari. Seperti ngopi di pagi hari yang menjadi kebiasaan, mendengar lagu yang seolah sangat tidak mungkin kita tinggalkan, atau sekedar menanti pesan dari sang gebetan yang kadang menjadi moment paling mendebarkan. Dan tanpa sadar, kebiasaan- kebiasaan itu sudah menjadi candu untuk kita sendiri. Pagi hari tanpa kopi alamat pusing di siang hari. Seharian tanpa lagu kesukaan adalah hal yang tidak mungkin, dan sehari tanpa pesan dari gebetan adalah kiamat kecil- kecilan. Belum lagi untuk orang- orang yang hobi merokok, hobi olahraga, hobi (ma'af) ngomongin orang, dan hobi memata- matai mantan.

Berangkat dari sebuah bakat seni, manusia adalah makhluk yang keren. Kenapa? Karena tanpa kita sadari, kita sebenarnya sedang tidak sadar. Tidak sadar kalo sedikit demi sedikit kafein mengerjai otak kita untuk menagihnya lagi besok pagi, musik juga sama, dan rasa kangen dengan gebetan juga tak jauh berbeda. Nikotin yang malah membuat rentang waktu ketagihan yang semakin singkat. Kita sering tidak sadar untuk beberapa halaman yang sudah terlewat.

Berjalan lagi dengan masih berpegang dengan nilai seni, kita sebenarnya mempunya sebuah seni yang sangat keren untuk dilewatkan. Sebuah seni tentang pengendalian diri. Jadi sebelum kopi atau musikmenjadi candu untuk diri, kita perlu meninggalkannya sejenak untuk beberapa hari. Sebuah seni yang mungkin akan sulit diterapkan jika itu tentang perasaan. Jika kita menyukai seseorang, kita pasti akan kesulitan untuk sekedar meninggalkannya barang sehari.

Berbeda dengan kopi, musik, nikotin, ganja dan semua bahan candu di dunia ini. Karena seni itu bersumber dari perasaan, seni tidak akan bisa mengendalikan perasaan. Oleh sebab itu, entah kapan awalnya, sekarang kita bisa mendengar lagu, membaca fiksi, menonton drama, melihat lukisan yang megah dan membuat kita kagum. Ya, seni itu adalah wujud dari perasaan manusia.

<script src="http://kumpulblogger.com/scahor.php?b=234001" type="text/javascript"></script>